Row Row Your Boat

Baiklah, sebelumnya saya mau mengaku dulu. Saya tidak bisa berenang (tapi sekarang saya sudah bisa mengambang dan meluncur *tepok tangan buat saya*). Setiap saat ditanya apakah saya bisa berenang, saya hanya bisa nyegir saja dan sang penanya langsung tahu kalau jawabannya "tentu tidak". Awalnya saya tidak begitu terganggu dengan keterbatasan saya ini karena sejak kecil hingga SMA saya tinggal di Jawa yang kemana-mana naiknya bus, motor, mobil, KA bukannya speedboat atau ketinting. Kalaupun harus mengarungi perairan ya naiknya ferry (ferry khan guedhe sekali jadi merasa aman walaupun kadang ada juga ferry yang tenggelam). Kalau mandi di sungai pun ya sungainya dangkal kalau tidak dangkal model sungainya sungai irigasi buatan jaman Belanda yang ada pijakan-pijakan untuk mandi, nyuci, dan BAB.
Pertama kali saya merasa deg-degan adalah saat ikut teman-teman di organisasi mahasiswa saya yang mau pengamatan biota perairan di Kepulauan Seribu. Dari Pulau Panggang ke Pulau Semak Daun, kami harus naik perahu bercadik yang biasa dibuat nelayan mancing ikan. Karena agak takut maka saya duduk di depan bapak operator dan tidak berani banyak bergerak. karena perahunya kecil dan jalannya lambat, sayapun bisa memperhatikan kondisi air laut, kadang biru gelap (langsung pegangan erat), biru cerah (pengangan dilonggarkan), sampai saya juga bisa melihat hamparan terumbu karang plus ikan karangnya (ga pegangan). FYI, karena kami mahasiswa yang otomatis kere jadi hanya punya satu life jacket dan perahu kecil kami itupun masih harus menarik perahu kecil lain yang berisi barang dan teman kami yang lain (weleh). Waktu saya ke Bunaken sih tidak ada takut-takutnya karena bawaannya senang terus membayangkan mau snorkeling dan juga speedboat kami besar.
Mancing setelah Tsunami

Lama setelahnya saya harus melakukan perjalanan lagi mengarungi lautan kali ini Pokai ke Politcoman di pulau Siberut Kep.Mentawai. Walaupun disebut speedboat karena memang mesin yang digunakan adalah mesin speedboat tapi badan kapalnya ya dari kayu. Mungkin karena cuaca cerah dan banyak temannya jadi saya tidak merasa takut sama sekali walaupun harus bekerja menimba air yang terus masuk ke boat kami. Di sana, untuk pergi kemana-mana transportasi utamanya ya perahu. Bagi saya yang asli 100% tidak bisa berenang, bila saat perjalanan melewati sungai airnya sedang tinggi dan arusnya kencang, stategi saya adalah duduk di dekat bapak yang paling kuat dan jago renang.
Pahlawan Perjalanan dalam Badai

Sepertinya memang benar katanya pepatah... bisa karena terbiasa. Setelah tiga bulan wara-wiri naik ketinting dan speedboat kayu saya pun tidak takut lagi. Malahan saya dan mbak-mbak yang juga kerja di sana sempat pergi memancing naik speedboat keluar muara setelah kejadian tsunami di Kep.Mentawai. Pagi itu cuacanya mendung dan ombaknya agak besar namun kami masih ketawa-ketiwi walaupun akhirnya ada mbak-mbak yang mabok laut. Namun sore harinya, ketika saya dan beberapa teman akan keluar dari muara untuk kembali ke padang, kondisi di muara sudah berubah total. Untuk keluar dari muara pun speedboat kami harus maju-mundur menyiapkan ancang-ancang yang harus tepat. Kami harus berada di atas gelombang dan gelombangnya sedang besar-besar. Wiihhh, semua penumpang basah terguyur air laut dari ujung rambut sampai kaki, air yang masuk banyak sekali. Kami keluarkan airnya seember yang masuk berember-ember. Apalagi kadang-kadang boat kecil kami berada di antara gelombang yang lebih tinggi dari boat kami (super duper deg-degan) and FYI , lifejacket kami cuma ada dua biji (merinding disco). Pahlawan perjalanan kami itu (4 jam ditengah gelombang tinggi, hujan lebat, angin kencang dari Siberut utara ke Siberut Selatan) adalah bapak operator kami, Pak Parulian yang gagah berani. Mungkin si bapak mengajak kami mancing sebelumnya adalah untuk mengamati kondisi laut dan kemungkinan kami bisa keluar atau tidak.

Sungai yang Lebar di Kalimantan
Sekarang, saya tinggal di Kalimantan sehingga mau tak mau harus berhadapan dengan sungai-sungai yang luebaaarr atau sungai dengan banyak riam yang baru saya temui di sini sepanjang pengalaman saya. Mungkin yang membuat saya lebih tenang di sini adalah lifejacket kami lebih banyak daripada sebelum-sebelumnya. Sehingga naik apapun asalkan lewat sungai ya satu orang pakai satu lifejacket (lega kuadrat deh). Saya juga baru ngeh kalau untuk sungai yang lebar dan berarus kuat, orang yang pandai berenang pun tetap akan terbawa arus (hikz).
Sungai Beriam
 Terlepas dari rasa takut saya, dan kekhawatiran lainnya, saya ternyata juga menyukai perjalanan lewat air sehingga kalau bisa saya selalu duduk paling depan agar bebas melihat pemandangan selama perjalanan. Mungkin karena saya bukan orang lokal dimana bepergian dengan perahu sudah menjadi ritual shari-hari sehingga masih saja merasa excited. Mungkin beda soal jika sejak dari kecil sampai besar setiap hari naik perahu untuk pergi ke mana-mana, bisa jadi kesannya seperti naik angkot saja (baca:pingin cepat sampai tujuan karena panas).

Comments