ADORABLE CLASSMATE -Every Girl Have Her Own Drama- (Part 1)


Profil Nara,
Hi, aku Nabila Ratu Ananda umur 17 tahun, kelas XII SMA Swasta xx yang punya reputasi sekolah elit. Bukan berarti orangtuaku kaya tapi karena nenekku adalah guru Biologi senior (nenek pensiun bersamaan dengan masuknya aku ke sekolah) dan tanteku juga guru Biologi di sekolah itu (mungkin biar aku jadi guru Biologi juga). Banyak yang bilang aku masuk karena nepotisme sehingga uang pangkalku jadi nol rupiah. Bagiku sih hal itu tidak penting untuk diperdebatkan karena dari segi otak, aku ini kan termasuk dijajaran anak pintar di sekolah walaupun bukan yang nomor satu (tiap tahun masuk urutan 10 besar). Hobi, kalau hobiku yang benar-benar kutekuni dengan segenap hatiku adalah nonton film drama Jepang, Taiwan, dan Korea, hobi nomor dua adalah berjualan karena dengan berjualan aku bisa mendapat uang lebih untuk mendukung hobi utamaku itu. Oh ya, satu lagi hobiku yang aku tekuni adalah ngemil meises sambil nonton film. Kenapa meises? Well, harganya lebih murah dari cokelat silverqueen tentunya. Dulu waktu masih kecil aku lebih suka ngemil cokelat ‘Jago’ tapi semakin aku beranjak dewasa rasanya cokelat itu sudah punah (bukan info penting).
Hal yang menarik dari kehidupan SMAku adalah …(berpikir 1 jam) dengan berat hati aku beritahukan bahwa aku tidak punya hal menarik selama aku SMA kecuali saat daganganku (CD, DVD, pernak-pernik) disita guru komdis sekolah dan aku diskors karena berjualan disaat kegiatan belajar mengajar. Sebenarnya dalam hatiku yang paling dalam (benar-benar mentok paling dalam) aku ingin setidaknya menjadi orang lain yang mempunyai banyak pengalaman seru semasa SMA secara ada lagu yang liriknya mengatakan tiada masa paling indah selain masa di SMA. Saat terhanyut dengan cerita dorama, aku jadi pingin berubah jadi San Chai di Meteor Garden atau Makino Tsukushi di Hana Yori Dango atau Geum Jan Di di Boys Before Flower. Setidaknya tokoh cewek itu menemukan masa kejayaannya saat mereka sekolah (kya kya kya).
Anyway, ada yang berbeda di kehidupan kelas XII-ku karena dihapuskannya kelas khusus yang menampung anak-anak berprestasi akademik 30 besar sekolah. Kami pada kelas XII ini harus merelakan diri terpisah-pisah ke kelas biasa untuk menghindari ketimpangan nilai kelulusan kelas biasa (tidak ada penelitian yang menyebutkan bahwa kekayaan berbanding lurus dengan kepintaran). Bagiku sih tak ada masalah karena pergaulanku selama dua tahun di kelas khusus yang diberi nama Kelas A oleh sekolah hanya diisi dengan persaingan dan penggencetan. Di intern murid-murid sekolah XX sampai dikenal nama ‘The Sacred A Class’ yang entah dipopulerkan oleh siapa karena iseng. Nama itu merujuk pada kelompok elit kelas A yang kebetulan beranggotakan hampir separuh penduduk kelas A yang memang mengagungkan kepintaran dan kekayaan mereka yang entah kenapa sama-sama menakjubkannya. Teman akrab? Aku tidak pernah punya teman akrab karena aku secara alami bukanlah anggota The Sacred A Class sehingga teman bermainku tidak banyak. Sosialista The Sacred A Class tidak hanya membutuhkan otak cemerlang (aku masih termasuk didalamnya) namun juga harta yang juga cemerlang (aku sama sekali tidak masuk didalamnya). Aku masih beruntung karena aku bukan orang buangan (istilah bagi murid yang digencet) di kelas A karena aku masih memenuhi syarat pertama dan aku sepertinya terlalu galak untuk digencet (DNA nenekku yang juga dikenal sebagai guru terkiller rupanya menyelamatkanku). Sekarang, dengan pencampuran siswa ini merupakan awal bubarnya The Sacred A Class yang nggak penting itu dan kehidupan SMAku.
Mungkin yang membuatku sedikit tegang menanti kehidupan baru kelas biasaku adalah aku tak tahu siapa teman sebangkuku selama setahun nanti. Kalau boleh, ini benar-benar kalau boleh, semoga dia adalah orang yang menyenangkan dan ini harus boleh, semoga dia bukan orang itu. AMIEN.


1.    He catchs me…
Pemberitahuan kelas diberitahukan lewat website sekolah. Nama Nabila Ratu Ananda dengan NIM 17290 ditempatkan di kelas XII 3A maksudnya adalah tingkat 12 ruang kelas nomor 3 jurusan IPA. Waktu aku tanya pada tanteku siapa saja teman sekelasku, dia hanya menggeleng karena bukan dia yang mengurus penempatan murid. Jadi sekarang, saat aku sudah berdiri di depan pintu kelas baruku aku menyempatkan diri menarik napas panjang dan kembali menghela napas panjang sebelum menarik pintu ganda itu.
Kukedipkan mataku beberapa kali untuk memperbaiki pandangan. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas makhluk-makhluk borjuis bakal temanku selama setahun ini. Kalau kuabsen berdasarkan pengetahuanku ada beberapa bintang besar yang sekarang sekelas denganku. Pertama, Geng cewek super cantik yang ngetop di lingkungan sekolah dan katanya juga jadi idola di sekolah-sekolah biasa, tiga anggotanya yang memang selalu sekelas sekarang menjadi  classmateku, Sarah Fraux, Abelina Yossie, dan Fenita Zen. Aku tak pernah bergaul dengan mereka bahkan menjual daganganku ke mereka saja tidak pernah. Kedua, salah satu dari si kembar bintang lapangan basket NBA junior si MPV Jaka Septino. Kalau dia, aku pernah menjual badge yang mirip dengan kepunyaan Yao Ming padanya. Ketiga, pelukis pro junior, Mae Aura, tidak banyak catatan mengenainya karena dia adalah juara dispensasi di sekolah karena kesibukannya mengikuti perlombaan lukis dimana-mana. Keempat, dua teman sekelasku dulu peringkat 2, Bagaskara Abdulah, dan peringkat 20, Andisa Sari.  Sementara teman-temanku yang lain tidak begitu menonjol bagiku (atau aku yang tidak pernah bergaul dengan mereka).
Bangku favoritku adalah bangku pojok belakang dekat jendela. Aku paling suka memperhatikan tingkah laku teman-temanku saat pelajaran bila sudah bosan dengan penjelasan guruku. Pekerjaan mengamati kegiatan mereka merupakan hiburan tersendiri selain online lewat Hp. Kelihatannya bangku favoritku belum bertuan, akupun langsung mendudukinya tanda kalau aku sudah memilih bangku itu sebagai bangkuku. 
“Hai, kita sekelas lagi. Kelas ini adalah kelas yang paling sedikit jumlah mantan kelas A-nya. Hanya aku, kamu, Bagas, dan Yongki. Sebenarnya aku kurang setuju dengan pemecahan kelas A ini, tidak ada gunanya. Kalau kamu?” Andisa (bukan anggota The Sacred A Class juga sepertiku) menghampiriku. “Pembubaran kelas A sebagai awal bubarnya The Sacred A Class, Oh Absolutely thank for that. Kamu duduk dimana?” jawabku sambil nyengir. Andisa membalas cengiranku dan menunjuk bangku paling depan di samping tempat duduk Bagas (The Sacred A Class member namun tidak tahu apa gunanya). “Over there, I’m afraid of them.” Kali ini dia menunjuk kelompok Sarah. “Memang ada apa dengan mereka?” “Yah, aura mereka gelap. Bisa-bisa aku tidak konsentrasi belajar. Kamu tetap ingin duduk di belakang?” “Ya. Aku suka duduk di belakang.” Bel masuk kelas berbunyi. “Aku kembali ke bangkuku dulu ya. Semoga teman sebangkumu menyenangkan.” Andisa pergi kembali ke bangkunya. Beberapa saat kemudian Bagas yang dari tadi sudah sibuk membaca buku setebal 10 sentimeter menoleh padaku dan tersenyum kaku. Aku membalas senyumnya dengan lambaian tangan.
Siapa yang bakal jadi teman sebangkuku? Sepertinya masih jadi misteri sampai menit ke-10 sesudah bel masuk berbunyi. Hampir seluruh penghuni kelas baruku yang berjumlah 36 orang datang di hari pertama sekolah kecuali teman sebangkuku. Wali kelas baruku Mr. Jonas Armen ekspatriat dari Australia mulai mengabsen kami. “Dewa Lintang Permana” saat nama ini disebut oleh Mr Armen tidak ada seorangpun yang menjawab “present” tapi malah beberapa pekik tertahan bernada terkejut bercampur girang datang dari sudut trio cewek populer dan beberapa murid perempuan lainnya. “Is he absent? It’s okay. Next, Dira Putra Sudira?” Mr. Armen melanjutkan acara absen muridnya.
Saat itulah pertanyaanku tentang siapa teman sebangkuku terjawab sudah. Jawaban pertanyaan yang benar-benar tidak aku sukai, kenapa diantara 36 pilihan teman sebangkuku, dia orangnya? Padahal aku sudah memohon agar bukan dia orangnya. Sudah hampir setahun aku menghindari berpapasan dengannya di lorong, di perpustakaan, di UKS, di lapangan, di kantin, pokoknya dimanapun aku berada. Usahaku berhasil karena kami tidak sekelas, dan dia jarang masuk (mungkin sibuk). Tapi sekarang? Ya Ampun!
Kenapa aku tidak mau bertemu dengannya? Ceritanya panjang tapi aku akan buat ringkasannya. Orang yang bernama Dewa Lintang Permana itu adalah model yang sedang naik daun, ya dia adalah orang yang pekerjaannya jalan mondar-mandir di catwalk. Dia punya banyak penggemar di sekolah termasuk para pelangganku. Nah, beberapa orang pelangganku membayarku dengan upah yang mahal untuk pernak-pernik yang berhubungan dengan Dewa. Ada yang cuma minta poto, pin, T-Shirt, sampai mug dengan poto Dewa. Karena tergiur dengan keuntungan yang besar akupun tanpa pikir panjang menyetujuinya. Dengan statusku sebagai anggota club potografi pasif (cuma terdaftar tapi tidak pernah ikut kegiatan) akupun bisa dengan bebas membawa kamera SLR kemana-mana tanpa dicurigai. Maka dimulailah perburuanku untuk mendapatkan poto ekslusif Dewa sebanyak-banyaknya. Kegiatanku ini berlangsung dengan lancar, aku berhasil mendapatkan banyak pose Dewa yang menarik bagi penggemarnya dan aku pun mendapat keuntungan yang banyak.
Hingga suatu hari, kebiasaanku itu mencelakai aku. Saat itu aku telat gara-gara harus mengambil poto-poto Dewa yang baru kucetak di tukang cetak langgananku. Karena pelajaran pertama adalah praktikum biologi yang diajar oleh tanteku yang lebih galak terhadapku daripada murid-muridnya yang lain, jadi aku berusaha datang ke laboratorium sebelum tanteku datang. Lorong sekolah lima menit setelah bel masuk berbunyi sudah sepi, murid-murid sudah masuk ke ruang kelas dan ruang praktikum melakukan doa bersama. Akupun melakukan hal yang selayaknya dilakukan oleh mereka yang terlambat, berlari sekencang-kencangnya, dan BRUAK!!!!! Sebuah benda yang muncul dari belokan toilet siswa menubrukku atau lebih tepatnya aku yang menubruknya hingga aku tersungkur. Tas gendongku yang mirip tas belanja ke pasar tanpa resleting pun menghaburkan semua isinya, untung kameraku sedang tidak kubawa,“Maaf, maaf, nggak sengaja!” dengan tergesa-gesa aku mengumpulkan semua isi tasku. “Loe, penguntit ya?” suara datar dan berat khas cowok milik benda yang kutabrak itu mengagetkanku. Serta merta akupun mengalihkan perhatianku dari buku-buku kepadanya. “Haggghh!!!” dan akupun sukses dibuat kaget olehnya. “Kaget ya?” ujarnya, dia menggenggam belasan poto dirinya dan mengamatinya alih-alih memandangku. “Jepretannya lumayan bagus,” dia pun mengomentari poto-potonya, “Anggota club potografi ya?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya, yang bisa kulakukan hanyalah mematung. “Tapi, kok ada daftar harganya? Loe jualan poto gw?” Kali ini nada suaranya lebih tinggi dan dia pun menatapku yang masih bergeming. “Kalau cuma penggemar gw nggak masalah, tapi ini sudah mengkomersilkan gw tanpa izin. Loe mau bayar ke gw berapa? Nilai kontrak gw untuk sekali poto minimal sepuluh juta.” Dia ikutan berjongkok di depanku. Aku sepertinya merasa sedang diancam olehnya, “Kamu mengancam saya?” tanyaku lirih. “Itu kalau loe anggep gw ngancam,” jawaban datar itu membuatku lebih gugup lagi. Akupun merogoh saku kemeja seragamku dan mengambil empat lembar seratus ribuan yang aku punya. “Hanya ada ini. Please masalah ini jangan diperpanjang, kalau sepuluh juta, saya tidak punya uang sebanyak itu. Saya saja tidak bayar SPP.” Dia tidak segera mengambil uang itu,”Loe murid beasiswa?” Dia kemudian mengeluarkan iphone-nya, memencet-mencet tombolnya dan mengarahkan BBnya padaku,”Lihat lurus!” “Hah?” “Senyum yang lebar!” dan kilatan blitz pun menyambar wajahku. “Hah, kamu?” “Mengambil bukti, kalau gw ada waktu luang gw bakalan mengungkit masalah ini lagi. Loe beruntung, gw kudu buru-buru masuk kelas, sampai ketemu lagi!” Dia kemudian berbalik meninggalkanku yang masih berjongkok karena masih syok. Dia masih sempat meledekku dengan melambai-lambaikan foto-fotonya plus daftar harganya padaku sebelum masuk ke kelasnya. Sejak saat itu, aku benar-benar memperhatikan kata-katanya yang terakhir ‘sampai ketemu lagi’ dengan berusaha menghindarinya dan berhenti menjual pernak-perniknya.

Inilah nasibku, aku harus sebangku dengannya karena ketua kelas kami yang baru, Yongki (bukan anggota The Sacred A Class) telah membuat denah tempat duduk kami dan menempelkannya di papan dinding sebelah meja guru. Peraturan sekolah no.5 ‘Demi ketertiban kelas, dilarang berpindah-pindah tempat duduk tanpa ijin dari wali kelas.’ Sekarang aku hanya bisa berharap dia sudah lupa denganku dan jarang masuk sekolah seperti hari ini.
Lima menit lagi gerbang sekolah bakal tertutup secara otomatis dan aku masih berlari-lari menaiki tangga jembatan penyerangan melewati dua anak tangga sekaligus. Ini memang bukan yang pertama kali aku berlomba dengan waktu dan seringkali waktu yang menang. Ada daftar siswa terlambat di pos penjaga dan aku termasuk top twenty urutan ke-17 dalam chart siswa tukang ngaret.
“Kali ini kamu selamat ya, Nabila!” sapaan bernada menyindir menyambut kedatanganku. Pak Bambang guru piket abadi SMA xx yang suka memberikan hukuman kejutan bagi siswa yang telat berdiri didepan gerbang sekolah. “Pagi, Pak. Saya juga bersyukur tidak telat hari ini,” aku pun menggodanya. “Semoga besok dan besoknya lagi kamu bisa selamat!” kali ini perkataan Pak Bambang bernada mengancam. “Siap, Pak!”
“Save. Hari ini dia datang on time, Gas!” sambutan kedua datang dari Andisa saat aku memasuki pintu kelas dengan napas terengah-engah. “Jam tanganku sudah terlewat 3 menit,” ujar Bagas yang masih memegang buku tebal 10 cmnya. “Tidak bisa, tadi sudah sepakat kita akan pakai jam tanganku,” Andisa langsung protes,” By the way, Nara selamat ya, hari ini teman sebangkumu masuk tuh!” Spontan mataku tertuju pada bangku di sebelah bangkuku, dia sudah duduk dibangkunya memakai headset sambil memejamkan mata, tidur mungkin. Sepanjang jalan menuju bangkuku aku terus-terusan memanjatkan doa berharap dia tidak mengungkitnya.
Tidak ada gerakan yang mencurigakan darinya saat aku dengan sangat berhati-hati duduk di bangkuku. Dari ujung mataku, aku tetap memperhatikan gerakannya berjaga-jaga terhadap segala situasi yang bakalan merugikanku. Rambut sebahuku yang biasanya kukuncir kuda, hari ini sengaja kuurai karena kufungsikan sebagai tirai.
Untung pelajaran pertama hari ini adalah kalkulus selama 3 jam pelajaran (135 menit) yang membuat seluruh penghuni kelas terfokus pada papan tulis, slide show, dan Mr. Adiguna Wiramadiningrat, MSi termasuk dia. Mungkin dia membaca gelagat aneh tidak bersahabat yang kutunjukkan lewat sikapku, tidak menyapanya, duduk jauh-jauh darinya, dan tidak berbicara sepatah katapun selama pelajaran. Namun tiga jam berlalu dengan sangat cepat menurutku, tiba-tiba saja bel ganti jam pelajaran berbunyi sehingga kami punya waktu kosong sepuluh menit sebelum pelajaran biologi dimulai. Apa yang harus kulakukan selama sepuluh menit ini? Apa ke toilet saja? Ide bagus!
Aku sudah mau berdiri saat teman depan bangkuku membalikkan badan dan menyapaku, ”Sudah dapat kelompok praktikum belum?” “Belum. Kan praktikumnya baru ada besok. Kenapa memangnya?” Aku balik bertanya pada Jaka, teman depan bangkuku. “Bareng gw yuk, loe kan mantan kelas A, siapa tahu nilai gw jadi naik gara-gara loe.” “Baik, tidak masalah.” Tanpa pikir panjang akupun setuju karena ingin cepat-cepat keluar dari kelas. “Loe dah cari kelompok belum? Mau sekelompok bareng Sarah lagi?” Kali ini dia bertanya pada Dewa. “Kapok gw. Bareng loe juga dah.” Jawabannya membuatku mulas. “Btw, kalian dah kenalan belum? Kemarin loe kan nggak masuk,” Jaka dengan sukses membuatku makin mulas sehingga benar-benar ingin pergi ke toilet. “Eh, saya ke toilet dulu ya, sudah tidak tahan lagi nih. Nanti lagi saja ya mengobrolnya,” akupun segera pergi menghidari mereka.
Bu Milka tampak sewot waktu aku baru masuk kelas saat dia sudah duduk di kursi guru. Kali ini aku lebih memilih mendapatkan perlakuan galaknya daripada harus melanjutkan obrolan dengan teman-teman baruku. Pelajaran biologi kembali menyelamatkanku dengan pre-testnya. Tidak mungkin ada obrolan sepanjang pre-test kalau tidak mau dianggap mencontek.
“Oke, waktu habis. Silahkan tukar dengan teman sebangku, kita periksa sama-sama. Ingat, jangan sampai ada yang berani berbuat curang dengan nilai pre-testnya!” Bu Milka mengetukkan penghapus ke meja guru tanda kami harus menukar kerjaan kami.
Tanpa menoleh aku pun menggeser kertas pre-testku ke arahnya dan menarik kertas pre-testnya. “Hmm…jadi nama loe Nabila Ratu Amanda?” suara berat dan datar yang selama ini kuhindari sekarang bertanya padaku. “Loe masih ingat gw kan?” Ya Tuhanku rupanya dia tidak punya penyakit pikun. “Jangan bilang loe dari tadi sengaja menghindar dari gw?”
Aku pun mengambil napas dalam-dalam dan memasang senyum selebar-lebarnya padanya, ”Hi, Nara panggil saja Nara!” “Sekolah ini emang sempit ya? Loe pasti selama ini menghindari gw kan? Gw juga sebenarnya sudah lupa tapi gw terus diingatkan lagi sama poto bengong loe itu. Sekarang, berhubung takdir kita ketemu lagi dan berhubung akhir-akhir ini suasana hati gw lagi jelek, gw bakalan membahas masalah kita yang tertunda itu lagi. Oke?” itulah kata sambutan yang aku terima dari teman sebangkuku sebagai salam pembukaan kehidupan sekolahku yang baru. Saat ini aku cuma bisa berteriak dalam hati, “tiiiidddaaaaaakkkkk!!!!!!!!”
-To Be Continue (Please Be Patient ^_*)-

Comments

  1. hwaaa..ceritanya drama korea banget :p

    ReplyDelete
  2. hehehehe daripd cuman nonton doank mending diremake jadi tulisan gitu...pantengin teyus ya phi ada 9 jilid lho...(ga selama sinetron kok)

    ReplyDelete

Post a Comment