ADORABLE CLASSMATE -Every Girl Have Her Own Drama- (Part 2)
2.
He is my Boss now…
Kamar kostanku
biasanya hanyalah tempatku menaruh barang dan tidur. Hampir sepanjang waktu aku
habiskan di ruang televisi atau bersosialisasi ke kamar tetangga-tetanggaku.
Hanya aku siswa SMA yang kost di situ selebihnya adalah kakak-kakak mahasiswa
dan pekerja kantoran. Tidak ada kostan siswa SMA di sekitar sekolah karena
tidak ada siswa SMA xx yang ngekost kecuali aku. Mereka yang tinggal sendiri
biasanya menyewa apartement elit atau mengontrak rumah di perumahan elit juga.
Berhubung aku bukan kalangan elit jadi yang bisa aku lakukan adalah mencari
kamar kostan dekat dengan sekolah yang harganya murah dan disinilah aku
sekarang di ‘Wisma Ayu’, hanya berjarak 10 menit jalan kaki dari sekolah dan
uang bulanan 300 ribu.
Malam ini kegiatan
yang aku pilih hanyalah duduk di depan meja belajarku memandangi kertas putih
yang sudah penuh tinta hitam di depanku. Isinya adalah ’Surat Perjanjian Dewa
Lintang Permana dan Nabila Ratu Ananda’.
Surat
Perjanjian
Dewa Lintang Permana yang selanjutnya
disebut pihak pertama dan Nabila Ratu Ananda yang selanjutnya disebut pihak
kedua dengan ini mengadakan perjanjian sebagai berikut :
1.
Pihak kedua harus mematuhi perintah dari pihak
pertama kecuali perintah untuk melakukan tindakan kriminal dan merugikan
pihak kedua secara materiil.
2. Pihak pertama berhak
memanggil pihak kedua kapanpun kecuali pihak kedua dalam keadaan sakit yang
dibuktikan dengan surat dokter.
3. Pihak kedua
berhak mendapatkan imbalan setelah melaksanakan pasal satu dan dua yang
besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama.
4. Perubahan
perjanjian ini akan diatur kembali dan pihak pertama akan dikenakan denda
sebesar Rp 5000.000,00 bila melanggar perjanjian sebaliknya bila pelanggar
perjanjian adalah pihak kedua maka pihak pertama berhak untuk melaporkan
tindakan pihak kedua yang telah menjual barang-barang dengan memanfaatkan
pihak pertama tanpa ijin kepada pihak sekolah.
Demikian
perjanjian ini dibuat secara sadar dan bertanggung jawab oleh kedua belah
pihak. Perjanjian ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berakhir pada
saat kedua pihak lulus dari SMA.
Jakarta,
22 Juli 2009
Pihak pertama Pihak
Kedua
Dewa Lintang
Permana Nabila Ratu Ananda
|
Tadi siang saat
istirahat aku ditawan olehnya di dalam kelas. Dengan lagak professional dia
membuat surat perjanjian itu dengan notebooknya. “Ehm… boleh bertanya?” tanyaku
sambil mengamati tulisan yang dibuatnya. “Apa?” dia balik bertanya. “Harus
sampai pakai surat perjanjian ya?” “Iyalah. Gw nggak mau kena tipu. Lagian loe
bakalan dapat upah juga kok. Daripada jualan secara illegal pekerjaan ini gw
kira lebih professional buat loe,” jawabnya tanpa menoleh padaku. “Tapi kita
kan teman sekelas. Masa teman bikin surat perjanjian yang serius begini?”
“Siapa bilang gw temenan sama loe? Sejak kapan?” jawabannya ini membuatku
bertambah tidak suka padanya. “Kan kita sekelas,” aku berusaha menjawabnya.
“Sekelas bukan berarti gw lalu jadi temen loe kan?” dia menyerahkan usbnya
padaku,” print ini dua kali.” Tanpa sadar akupun melaksanakan perintahnya.
“Gw akan berbaik hati
sama loe. Bagaimana kalau gw kasih loe 7 ratus ribu perbulan dan kalau loe
harus overtime 50rb perjamnya? Dan perjanjian ini baru akan berlaku besok.” Dia
masih sempat memberikan senyuman modelnya saat menyerahkan surat perjanjian
bagianku sementara aku hanya bisa tersenyum kecut padanya.
“Dasar bodoh, Nara
bodoh!!!” aku memukul-mukul kepalaku dengan kepalan tangan, ”Bagaimana ini?
Tunggu, tunggu, berarti aku bakalan jadi babunya Dewa sampai aku lulus? Ya
ampun, emang aku bodoh banget bisa ketipu sampai kayak gini padahal di
drama-drama kan sudah sering ada modus kayak gini cuman bedanya dia ngga suka
sama aku titik ngga pake koma. Mampus dah!” Sampai larut malam aku masih
menyesali keadaan diriku yang bodoh, tidak belajar dari film-film yang kutonton
sehingga harus menjadi pelayan Dewa hingga aku lulus.
Tapi tetap saja
keadaanku sekarang tidak mengubah kebiasaanku datang ‘on time’ ke sekolah.
Kenapa aku seringkali nyaris terlambat padahal kostanku dekat dengan sekolah.
Alasannya adalah kamar mandi di kostanku hanya satu padahal penghuninya ada 10
orang, berdasarkan hasil musyawarah aku mendapatkan giliran mandi terakhir
karena sekolahku yang paling dekat dengan kostan dan aku adalah penghuni
termuda di kostan itu.
Pak Bambang, guru ketertiban
sudah bersiaga memerintahkan mang Udin menutup pintu. “Pagi, Pak!” aku
menyempatkan diri menyapa beliau,” Saya tidak terlambat kan, Pak?” “Kamu itu,
sudah kelas tiga masih saja berkelakuan seperti ini. Sudah sana masuk kelas,
awas kalau saya lihat kamu masih berkeliaran di koridor karena tidak boleh
masuk kelas oleh gurumu!” “Terima kasih, Pak!” Akupun melanjutkan olahraga
pagiku berlari menuju kelasku.
“Kali ini aku yang
menang! Di jam aku dia datang lima menit sebelum bel pelajaran, ayo bayar
100rb!” seperti hari sebelumnya Bagas dan Andisa menjadikan aku bahan taruhan.
“Kalian ini ya!” aku yang masih tersenggal-senggal pura-pura marah pada mereka.
“Eh Ra, tadi Degree nanya-nanya ke aku tentang kamu lho. Wah, akhirnya aku bisa
ngobrol sama dia!” ujar Andisa yang tampak berbinar-binar. Ucapan Andisa
langsung menarik seluruh perhatianku. “Apa?” “Hmm?” Andisa bingung. “Dia nanya
apa? Kamu jawab apa?”
“Dia nanya apa kamu
emang tukang ngaret? Trus kamu pintar ngga, kenapa bisa masuk sekolah ini
padahal bukan anak orang kaya, trus apa kamu masih suka jualan benda-benda
aneh. Wah, ternyata Degree merhatiin kamu ya?” jawab Andisa bersemangat.
Bos baruku sudah
duduk di bangkunya, kali ini dia dikerumuni oleh geng Sarah dan Sarah duduk di
bangkuku. “Gw kan juga ikutan pemotretan buat majalah ‘ss’ itu, nanti gw bareng
sama Degree ya?” ujar Sarah manja. “Aku juga ikut lho,” Abelina mengekor.
Karena bingung harus bagaimana akupun hanya berdiri di dekat mereka. Rupanya Dewa
melihat kedatanganku dan langsung beraksi,” Maaf ya cewek-cewek, yang punya
bangku sudah datang dan gw ada urusan penting ma dia.” “Urusan penting sama
dia? Emang apaan Degree, kok loe mau ngeladeni anak kayak dia sih?” tanya Sarah
tidak terima disuruh pergi oleh Dewa. “Oh, mulai hari ini dia resmi jadi
asisten gw, jadi kalian boleh pergi sekarang!” jawab Dewa yang membuatku
dongkol. “Yah, kalau Degree sudah bilang begitu. Jangan lupa undangan party gw
malam ini ya?”
“Kok kamu bilang ke
mereka?” tanyaku sebal setelah rombongan Sarah kembali ke bangkunya. “Biar
mereka pergi aja. Gw dah males banget ngeladenin mereka, untung banget ada
loe.”
“Kok kamu mau
ngeladenin anak kayak saya?” Aku menirukan ucapan Sarah,”Ntar dibilang turun
level lho. Atau jangan-jangan kamu ini penggemar dorama juga ya? Jadi mau niru
jadi murid popular yang membuli murid pintar gitu?”
“Loe itu yang
kebanyakan nonton film gituan. Gw juga nggak bakalan begini kalo loe nggak cari
gara-gara duluan. Lagian loe kan bawahan gw, jadi level gw tetep di atas loe
dunk.” Dewa menyerahkan sebuah notebook (yang buku bukan yang digital) padaku.
“Ini buat loe. Didalamnya dah ada catatan agenda gw yang ditulis ma manajer gw.
Sepertinya dia mendukung banget soal asisten baru ini. Jadi kayaknya loe yang
mesti terima kasih ke gw karena loe bisa belajar hal baru. Nanti sore loe kudu
ikut gw ketemu manajer gw buat bagi-bagi job. Ah, coba dari dulu gw punya ide
hebat kayak gini, gw jadi ngga usah bayar guru privat segala.”
Aku tidak memberi
komentar sama sekali, sepertinya percuma saja. Maka aku lebih tertarik melihat
isi notebook yang diberikannya pada pelayan barunya ini. Kalau melihat dari
jadwalnya, rupanya dia sibuk juga.
“Eeehh..kenapa saya
harus ikut rapat club film sepulang sekolah?” tanyaku saat membaca daftar
tugasku. “Gw anggota club film, bisa dibilang gw ini produser mereka. Ada
project film baru tapi gw ntar siang ada pemotretan jadi loe nggantiin gw.”
“Hmm saya kurang
yakin dengan pekerjaan ini. Tapi, tunggu… kenapa saya harus mencatat dengan
rapi, lalu ini kenapa saya harus ikutan pemotretan kamu di akhir pekan?” Aku
menjadi lebih berhati-hati membaca buku itu. “Masa gw harus membaca tulisan
cakar ayam untuk belajar? Asisten manajer gw kudu liburan sama anaknya weekend
ini, so manajer gw butuh orang untuk ngurus gw.” “ngurus kamu? Emangnya saya
babysitter?” aku langsung tidak setuju.
“Ehhh…loe ngga ada
hak untuk komplain. Jangan terlalu bawel karena gw ngga suka pekerja bawel.”
Dia kemudian memakai earphonenya tanda pembicaraan kami selesai. “Bertingkah
jadi bos ya? Jadi tambah curiga kalau kamu itu dorama lover beneran, mau niru
adegan film apa?” gumamku sebal. “Gw denger loe ngomong apa,”jawabnya santai.
Akupun cuma bisa cemberut kesal.
Demi untuk tidak
menarik perhatian yang bakalan mencelakaiku, aku memohon padanya agar waktu
makan siang aku tidak perlu tetap mengikutinya. “Kamu bisa sms atau telepon kalau
ada perlukan? Saya belum siap menarik perhatian 300 murid gara-gara saya
tiba-tiba membuntutimu. Lagian saya bukan Sanchai dan saya punya kehidupan
sendiri.” “Oke, gw juga males kalau sampai pas makan juga kudu denger protes dan
omongan ngelantur drama loe itu.” Dan akhirnya dia makan dengan Jaka dan
sepertinya Jaka menyebut nama Bobi (bukan teman sekelas) sedangkan aku makan
dengan Andisa dan Bagas.
“Kamu dah akrab ya
dengan Degree?” tanya Andisa yang sudah kuprediksi bakal ditanyakan olehnya,”Ngga
biasanya dia begitu. Kalau berdasarkan majalah-majalah yang aku baca, dia
cenderung introvert.” “Kamu masih punya waktu membaca majalah sementara ujian
sudah dekat?” komentar Bagas tiba-tiba. “Kamu juga masih membaca buku 10 cm
kamu itu,” timpal Andisa tidak terima. “Tenang aja, saya juga masih baca komik
kok,” aku membela Andisa. “Kamu harus hati-hati. Aku merasa dia begitu karena
kamu mantan kelas A. Semua orang ingin berteman dengan mantan kelas A untuk
tujuan tertentu,” ujar Bagas menasihati. “Aku nggak percaya Degree orang yang
seperti itu,” Andisa menyangkal ucapan Bagas. “Itu alami, Ndis. Seperti kata
pepatah, ada gula ada semut,” Bagas masih bersikeras. “Kok kalian yang jadi
berantem sih? Lagian namanya Dewa bukan Degree atau apapun itu dan saya bukan
‘The Sacred A Class’.”
“Kamu masih
mempermasalahkan The sacred A class sampai sekarang?” tanya Andisa kaget,
“Itukan cuma lelucon anak-anak saja.” “Bagimu yang bukan korban memang iya,
saya juga karena dari awal saya sudah tidak dianggap penting dan perlu
dipedulikan. Tapi bagaimana dengan orang-orang seperti Karol, Jay, atau Mimi yang
sampai pindah sekolah?” Aku mulai merasa mual mengingat kehidupanku di kelas A
yang dibanggakan itu selama dua tahun.
“Itu terserah kamu,”
jawab Bagas masih dengan nada datar, “Tapi mau tak mau sekarang, kita adalah
teman. Apalagi dengan populasi kelas A yang super sedikit di kelas kita, kita
harus waspada jangan sampai anak-anak tolol itu memperalat kita.” Aku serta
merta tertawa,” Ya Ampun, Bagas. Saya jadi penasaran sampai kapan kamu bertahan
dengan kekonyolan kelas A itu.” “Setidaknya aku merasa selevel saat di kelas A.
Sekarang rasanya kemampuanku akan tumpul gara-gara mereka yang lelet,” balas
Bagas sembari menutup bukunya dan pergi meninggalkan kami. “Temanmu salah
makan?” tanyaku pada Andisa. “Well, he is not my friend.”
“Nabila?” tiba-tiba
seseorang memanggil namaku dari belakang. Ternyata seorang murid laki-laki
namun aku tak yakin siapa dia. “Ada apa?” tanyaku setengah bingung disapa orang
yang tidak aku kenal, kalau dia perempuan aku yakin kalau dia mau melakukan transaksi
denganku tapi kalau laki-laki, ini sangat sangat sangat jarang terjadi.
“Saya Abe, ketua club
film. Saya dengar dari produser kalau kamu akan mewakili dia siang ini. Mohon
jangan sampai lupa ya!” “What? Produser katamu. Ya ampun, sampai kamu juga diperlakukan
begini sama orang itu. Gawat juga tuh orang,” aku tak tahan untuk berkomentar.
“Maaf kalau produser merepotkanmu,” Abe malah meminta maaf padaku. “Jangan
minta maaf, memang kamu salah apa? Ya sudah, nanti saya pasti datang kok.”
Ujarku meyakinkannya.
Karena kemalasan Bu
Milka, tanteku tercinta membuat kelompok praktikum, jadilah aku masih harus
menderita sekelompok dengan sang produser walaupun ada Jaka yang setidaknya
lebih baik darinya walaupun omongannya tidak jauh-jauh dari basket.
“Ayolah man, kalau
kita bertiga bergabung gw yakin gang Bobi tak akan sesombong sekarang. Gw tahu
loe pasti bisa ngalahin si Bobi ngga hanya di balapan,” Jaka sepertinya sedang
mengompori Dewa sedangkan yang dikompori malah mengamati aku, satu-satunya
anggota kelompok ini yang mengerjakan tugas mengamati sepuluh preparat yang
diberikan pada kelompok kami untuk didentifikasi. “Gw tadi lihat si Abe dah
nyamperin loe,” ujar Dewa padaku sepertinya dia mengacuhkan Jaka. “Man, loe
nyuekin gw ya?” tanya Jaka yang tampak sebal omongannya tidak dianggap
Dewa,”Padahal kan hadiahnya lumayan buat have fun. Gw bener-bener pingin
ngalahin si Bobi and gangnya itu, sayang si Lukman cidera.” Rupanya Jaka belum
menyerah. “Jangan lupa datang ke rapat mereka dan catat semua hal yang mereka
bicarakan jangan ada yang tertinggal. Oke?” ujar Dewa padaku. “Ya, produser.
Apapun.”
“Kalau loe ngga mau,
gw ngajak Nara aja. Katanya loe bisa maen basket kan, Nar?” tiba-tiba Jaka
bertanya padaku. “Bisa tapi benar-benar hanya sekedar bisa saja.” “Ngga
masalah, tinggal menyamar saja jadi cowok, beres dah. Ide gw ternyata brilian
juga!” Omongan Jaka membuatku geli. “Ngaco! Memang mereka tidak akan sadar
kalau saya cewek?” “Kayaknya enggak ada deh,” ledek Jaka yang kemudian sibuk
menahan tawanya karena menganggap leluconnya itu lucu. Oh Tuhan, makhlukmu yang
masih dalam masa pertumbuhan ini mendapatkan pelecehan.
NARA, itu aku, dengan
patuh menunggu para anggota club film berkumpul di kafetaria sedangkan bosku
sudah pulang untuk pemotretan dan nanti sore aku harus menyusulnya ke sana. Anggota
club film rupanya tak sebanyak yang kukira, kupikir banyak murid yang tertarik
membuat film tapi ternyata hanya lima orang saja yang hadir (anggota club
fotografi saja 10 orang lebih banyak dari ini).
“Terima kasih sudah
mau datang, seperti yang teman-teman tahu bahwa club kita tercinta ini sekarang
sedang mengalami krisis keanggotaan. Banyak teman-teman kita yang sudah kelas
XII berhenti dari club karena alasan bimbingan belajar, sementara anggota kelas
XI hanya dua orang, dan anggota kelas X hanya tiga orang. Karena krisis
keanggotaan ini maka pihak kesiswaan akan menutup club ini sehingga pada tahun
ajaran depan, adik-adik baru kita tidak akan merasakan semangat kita.” Demikian
pembukaan rapat yang berapi-api oleh sang ketua club, Abe. Kalau bukan karena
tata krama yang dijujung tinggi oleh adat timur, aku sudah tertawa tak keruan
dari tadi. “Kita demo saja Kak!” seorang anggota kelas X terpancing semangat
Abe,”Kita rame-rame datang ke kantor kepsek dan meminta agar club ini tidak
dibubarkan.” Akupun semakin tak kuat menahan tawa. “Iya, Kak. Kalau perlu pakai
acara mogok makan siang!” timpal temannya. Please, aku sudah tidak kuat menahan
tawaku. “Hmp…!” Aku segera menutup mulutku agar tawaku tidak meledak. “Kakak
menertawakan kami?” kali ini adik kelas itu bertanya padaku. Aku serta merta
menggeleng serba salah,” Nggak kok.” “Lalu kenapa tadi menutup mulut begitu?”
dia tambah sewot.
“Sudah, tak ada
gunanya kalau kita saling marah-marah,” ujar Abe menyelamatkan aku. “Saya sudah
bernegosiasi dengan kepsek. Dia setuju tidak akan membubarkan club ini dengan
satu syarat.” Abe tidak langsung menyelesaikan kalimatnya, aku merasa dia
sengaja membuat yang lain (kecuali aku tentunya) tegang. “Club ini tidak akan
bubar dengan syarat kita membuat satu film yang ditayangkan saat dies natalis
sekolah. Kepsek menilai selama ini club kita tidak produktif dan ditambah lagi
masalah anggota ini. Maka dari itu, teman-teman mari kita buktikan kalau club
film adalah club yang penuh semangat!” “YAAAAAA!!!!!!!” akupun sukses tertawa
terbahak-bahak melihat kelakuan para anggota club ini.
Bayangkan sebuah
studio foto yang penuh dengan peralatan lighting yang bisa bikin orang yang
berkulit gelap terlihat putih dan orang yang putih menjadi seperti mayat saking putihnya. Nah,
disitulah aku sekarang untuk pertama kalinya dalam 17 tahun kehidupanku (untung
bukan dalam 50 tahun kehidupanku), aku menginjakkan kaki di studio foto sekelas
XXX. Bak itik buruk rupa yang nyasar di tengah kerumunan angsa (kecuali para
krunya mungkin masih bisa dikategorikan itik gaul), aku harus menunggu bosku
kelar pemotretan sambil bengong melihat para model itu antri poto. Dimana Dewa?
Dia sekarang sedang sibuk bergaya di depan kamera kadang ada model cewek yang
ikut berpose dengannya. Andai aku tahu kalau aku bakalan pergi ke sini, pasti
aku sudah bawa Nikkonku tercinta untuk menjepret beberapa model yang pasti laku
untuk dijual, sayang sekali.
Lama sekali rasanya
aku menunggu Dewa break sampai sempat tertidur di sofa bulat yang saking
empuknya itu pingin banget aku bawa pulang. “Heh, bangun. Loe kira kamar tidur
loe? Pake mangap lagi tidurnya.” Suara datar khas Dewa membuatku terbangun
malas. “Hah, dah beres? Kamu lama sih jadi ngantuk dah.” Ujarku sembari
membetulkan posisi. “Nambah lagi dah koleksi gw,” dia memperlihatkan hasil
jepretan aku yang sedang tidur dan mangap di BBnya. “Dijualpun ngga bakal laku,
sikapmu benar-benar seperti adegan doram deh,” ujarku kesal. “Kayaknya loe udah
ngga bisa diselamatkan dari drama-drama, gw ngga pernah nonton film gituan. Gw
simpan ini buat nakut-nakutin tikus di gudang. Gimana club filmnya?” Dewa pun
duduk di sofa di sebelahku, aku sempat menangkap lirikan aneh beberapa orang
yang melihat Dewa ngobrol denganku (ternyata adegan seperti ini tidak hanya
dalam drama saja lho).
“Mereka mau bikin
film?” tanya Dewa ngga yakin padahal aku sudah menerangkan panjang lebar
padanya. “Itu kata si Abe, dia mau mempertahankan club itu. Desperado banget
sih club kamu,” aku sedikit berkomentar. “Mereka sudah punya ide mau bikin film
apa?”tanya Dewa lagi. “Belum, besok kita harus kumpul lagi, masing-masing
membawa konsep cerita yang bakalan divoting untuk dibuat film. Padahal kan
waktunya tinggal 2 bulan, belum shootingnya.” Aku merasa usaha mereka bakalan
sia-sia. “Gw lagi sibuk banget sampai akhir minggu ini jadi loe wakilin gw bikin
konsep buat club film. Loe khan doyan nonton jadi pasti punya ide buat besok,
jangan asal-asalan. Kalau konsep loe yang dipilih sama mereka, loe gw kasih
bonus. Deal!” Bosku lagi-lagi membuat keputusan sepihak. “Hah?” dan parahnya
aku Cuma bisa bilang ‘HAH?’
“Dewa, dia teman yang
kamu ceritakan itu?” seorang perempuan mungkin berusia 25 tahunan, tinggi, body
oke, datang menghampiri kami. “Hi Nes,” Dewa kemudian bercipika-cipiki
dengannya, “Iya, dia orangnya. Oh ya, mana oleh-oleh dari Medan?” Melihat tokoh
baru yang hadir ditengah pembicaraan kami ini dapat disimpulkan bahwa
pembicaraan kami seputar film berakhir dengan keputusan sepihak dari Dewa.
Comments
Post a Comment